Aku mengajar di salah satu sekolah swasta terkenal di Jakarta. Sejarah adalah bidangku. Walau banyak yang mengatakan ini adalah pelajaran yang membosankan, menurutku justru adalah tugas gurulah yang seharusnya membuat suatu mata pelajaran itu terlihat atau terdengar menarik.
Saking menariknya, banyak anak muridku yang tidak ingin cepat – cepat menghabiskan waktu di mata pelajaran ini (termasuk gurunya dong). Mungkin karena didukung dengan latar belakangku yang sudah banyak berpergian dari 1 tempat ke tempat lain.
Walau banyak muridku yang sudah pergi keluar negeri, namun yang sedikit saja yang menaruh perhatian pada hal – hal seperti ini. Tidak seperti yang lain, Michael sangat menyukai akan sejarah (dan saya juga menyukainya. Oppss.). Terkadang di dalam kelas, saat murid – murid sedang mengerjakan tugas kelompok, mataku hanya tertuju padanya.
Michael termasuk anak yang standard sebenarnya, namun ada hal yang membuatku menaruh perhatian besar. Secara fisik, bisa dibilang badannya cukup tinggi (175cm) dengan berat sekitar 65kg dan dada dan perut yang ‘jadi’. Chinese, bermata sedikit besar dan kulit sedikit kecoklatan (mungkin karena keseringan berenang kali). Sedang aku sendiri adalah keturunan dari Manado. Usia kami hanya terpaut 7 tahun.
Suatu hari, di saat jam kosong, ia berada di dalam kelas sedang tiduran. Dalam pikirku, “Andai bisa kucium bibirnya yang merah itu.” Akhirnya aku masuk ke dalam kelas dan ia bangun.
“Enggak keluar bareng yang lain?” Tanyaku.
“Enggak ah, Lagi males, pak. Enakan di kelas.”
“Bosen ya? Atau mau dibacain cerita sejarah lagi?” Tanyaku mengambil salah satu titik kelemahannya. (Jahat enggak sih?) Kita lalu membahas tentang sejarah – sejarah eropa yang sederhana yaitu Revolusi Perancis.
“Rasanya enak ya hidup seperti itu, tiap hari berpesta ria, bergelimpangan dengan makanan, minuman, cewek..” Jelas Michael.
“Loh, kasihan dong yang cewek. Masa enggak ada cowoknya?” Candaku.
“Iya juga ya. Enggak cowok, enggak cewek pasti foya – foya tuh di istana.”
“Pastinya. Disitulah kenapa ada issue juga mengenai hubungan sesama jenis di kalangan istana.” Pancingku.
“Masa iya sih? Tapi mungkin juga sih, pak. Namanya juga pesta kan? Kadang mabuk pun mereka juga tidak menyadari apa yang mereka kerjakan.” Jawabnya.
Aku cukup terkejut dengan jawabannya yang seperti itu. Aku berpikir apakah mungkin ia juga menyukai sesama jenis? Tapi aku juga tidak berani berbuat apa apa. Yang bisa kulakukan adalah membuka topik mengenai gay dan melihat reaksinya. “Topik yang menarik.” Kataku. “Ya, sayang dah bunyi bell nya.” Tanpa membuang kesempatan, “Bagaimana kalau kamu ada waktu kamu ke rumah bapak aja biar bisa luangin waktu untuk ngomongin mengenai topik itu dan sejarah – sejarah lain?” Tak kusangka ia menyutujuinya.
Sabtu tiba, ia datang dengan membawa mobilnya (maklum dah kelas 3 sma dah mau tamat lagi. Nyetir sungguh tidak dilarang). Tak kusangka ia datang dengan tiba – tiba sesaat aku baru selesai berolah raga. Dengan kaos yang basah karena keringat dan celana super pendek tanpa celana dalam, ia mengejutkanku sekaligus senang.
“Pagi banget, Michael. Bapak baru olah raga nih. Belum apa – apa.” Jawabku sambil melihat bulu – bulu kakinya yang menggoda. Ia datang mengenaka pakaian junkies dan celana Bermuda. Rasanya saat itu ingin kupeluk dengan erat dan kucium.
“Masuk dulu deh. Bapak mandi dulu ya. Just make yourself comfortable. Itu diatas lemari ada buku – buku mengenai topik yang kita bahas waktu itu.” Aku sengaja membuka pintu kamar dan kamar mandiku sedikit agar ia bisa mengintip (nakal ya?). Setelah selesai mandi, aku keluar dengan mengenakan handuk saja. Sengaja kubiarkan demikian dengan harapan ia bisa terpancing.
Sesekali ia melirik lalu bertanya, “Bapak enggak takut masuk angin ya?” “Enggak lah. Enggak ada angin juga kan disini. Gimana? Dah baca bukunya?” Aku langsung mengganti topik.
“Ya, sedikit. Ternyata di kalangan kerajaan juga banyak yang seperti itu ya?” Jawabnya. “Jangankan di Eropa. Di China aja, dulu kaisar juga banyak kan yang seperti itu sama kasim – kasimnya?” Jelas aku.
Setelah cukup lama, aku tidak tahan lagi melihat Michael dengan keseksiannya. Aku lalu mendekatinya. Sambil berbicara mengenai topik itu di sampingnya, aku sesekali memegang pahanya. Ia tidak menjauh ataupun merasa geli. Aku lalu menatapnya dan ia berkata, “Pak, kenapa lihat aku seperti itu?”
“Michael, bapak ingin jujur ama kamu. Tapi kamu jangan marah atau tersinggung ya. Bapak harap kamu mengerti keadaan bapak. Sepertinya bapak suka kamu.” Akhirnya kalimat ini keluar dari mulutku juga.
“Aku tahu kok, Pak. Dari tadi bapak sepertinya ngeliatin aku terus dan pegang – pegang paha aku. Terima kasih sudah mau jujurnya.” Jelasnya. Tak kusangka, selain ia menjawabnya seperti demikian, ia lalu mencium pipiku. Aku lalu membalas ciumannya di bibir.
“Michael, ini rahasia kita aja ya?” “Iya, tenang aja, pak. Aku juga enggak mau ada yang tahu kok.” Aku langsung menciumnya ia kembali sambil membawanya ke kamar tidurku. Badan kami berdua jatuh di atas tempat tidurku. Aku berdiri sebentar sambil membuka handuk yang kukenakan.
Aku lalu memeluk Michael kembali sambil kubuka satu per satu baju dan celananya. Ia mengenakan celana dalam yang ketat ternyata. Aku lalu menciumi tubuhnya yang halus itu dan mengigit pentilnya. Begitu hendak kubuka celana dalamnya, aku langsung menciumku sambil memainkan kedua pentilku.
Perlahan lahan aku menurunkan celana dalamnya yang berwarna hitam. Gleg, itu adalah penis yang kudambakan selama ini: panjang, tidak gemuk, dan tidak disunat dengan kulup yang sedikit panjang. “Wow, Michael, penis kamu indah banget. Ini yang aku suka.” Aku lalu membuka kulupnya sedikit. Ia menggelinjang kenikmatan. Tadinya kupikir dengan sensitifnya seperti itu, kontolnya pasti jarang dibersihkan tapi ternyata tidak. Begitu kuoral, ternyata masih ada bau sabun yang menempel.
Aku terus memainkan kulupnya karena saking gemesnya. “Suka ya, pak?” “Jangan panggil bapak ya. Panggil nama aja deh. Astaga, Michael…kalau tahu dari dulu kalau kontol kamu seperti ini, mungkin dari dulu aku sudah mulai ambil action duluan kali.” Aku melanjutkan mengoralnya kembali.
Setelah sekian lama, aku mencium bibirnya sambil mengocok kontolnya. Michael juga mengocok kontolku yang sudah disunat dengan precumnya. “Ahh, Mich, enak banget kocokan kamu. Enggak nyangka kamu pinter gini.” Ia hanya tersenyum sambil menciumku.
Tak lama, ia duduk diatasku dengan inisiatifnya sendiri. Ia menggengam kontolnya dan kontolku dan mengocoknya bersamaan. Aku memainkan pentilnya sesekali yang berwarna merah keunguan. Aku lalu mengenggam kontolnya dan menarik kulupnya hingga keatas. Terlintaslah suatu ide dalam pikiranku.
Kubisikan Michael. “Michael, pakai kulup kamu dan bungkusin kepala kontol aku dong.” Michael menuruti permintaanku. Setelah berusaha berulang kali sepertinya agak susah dan ia sedikit kesakitan. Akhirnya aku hanya mengocoknya saja. Tak lama ia terlihat ingin mencapai puncaknya. “Chard, (nama aku Richard) aku mau keluar nih.” Walau tadi kesusahan, ia berusaha lagi untuk ‘menyenangiku’. Ia mendempetkan kepala kontolnya dengan punyaku lalu mengocoknya sambil menarik kulupnya hingga membungkus kepala kontolku. Walau tidak sepenuhnya, akhirnya bisa sedikit dan disitulah kulihat cairan putih yang kental keluar dari kulupnya yang setengah membungkus kontolku.
Tak lama ia menciumku lalu mengocok kontolku dengan cairannya yang masih hangat. “Chard, oh yeah…keluarin ya…ayo…” Aku pun memuncratkan pejuku dan mengenai dadanya sedikit.
Kami berbaring kelelahan. Kami tidak berkomitmen tapi menjadi teman yang sangat baik. Sayangnya, setelah kelulusan sma, ia melanjutkan kuliahnya di Amerika. Walau kita berpisah, tapi kita masih terus berhubungan lewat email. Setiap kali ia pulang ke Jakarta, ia pasti sesekali menginap di tempatku dan pastilah terjadi hal-hal yg kmi inginkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar